Thursday, August 03, 2006
Surat Menyentuh Hati
Surat Nida dari Palestina
Nurul Hidayati - Detik Dot Com

Jakarta - Agresi Libanon ke Israel terus menghiasi pemberitaan dalam negeri. Kecaman dari para tokoh dan masyarakat Indonesia terus berdatangan. Masyarakat Indonesia yang tinggal jauh dari Timur Tengah saja teriris menyaksikan insiden itu, lalu bagaimana mereka yang tinggal di arena konflik? Nida, mahasiswi PhD Jurusan International Politics, University of Wales Aberystwyth, Inggris, punya cerita tentang itu. Nida adalah warga Palestina yang tinggal di wilayah Israel. Dia berkorespondensi dengan sahabatnya asal Indonesia, Emma Nawawi Dirgahayu, yang juga rekan sekampusnya. Emma lalu menerjemahkan hasil korespondensinya itu untuk pembaca detikcom, untuk memberi sudut pandang lain mengenai kasus ini, Jumat (28/7/2006).
Inilah jeritan hati Nida:


Assalamu'alaikum Wr Wb.
Aku berharap kamu baik-baik saja dan musim panasmu sangat menyenangkan dibanding musim panasku. Aku berusaha untuk menyelamatkan diri, namun aku sangat kesal atas agresi Israel ini terhadap warga Libanon, terlebih saat aku melihat standar ganda yang digunakan oleh masyarakat internasional dan dukungan langsung AS untuk makin banyaknya korban tewas. Aku terjebak di tengah perang tolol ini. Kamu mungkin lebih mendengar dari media Barat tentang Haifa dan kota-kota orang Yahudi di Israel. Tapi kampungku, Kofor Yassif, jauh lebih dekat ke perbatasan Libanon.

Senin lalu, dan sebagai bagian dari kebijakan 'kebebasan pers' Israel, reporter Al-Jazeera ditangkap di kampungku saat meliput perkembangan terakhir. Namun aku meragukan kamu mendapat berita tersebut, atau melihat tayangan anak-anak Israel menulis pesan pada bom-bom yang akan ditargetkan ke Libanon, atau setidaknya tentang fakta bahwa tak satu pun kampung-kampung maupun kota-kota Palestina di Israel dilengkapi dengan bunker perlindungan. Kedua anak Palestina yang tewas oleh roket beberapa hari lalu juga terbunuh sebagai akibat kebijakan Israel yang meliputi pengabaian, rasisme, dan diskriminasi atas warga Palestina di Israel.


Nazareth adalah kota Palestina terbesar di Israel, namun tidak sebagaimana kota-kota orang Yahudi, di sini tidak disediakan bunker perlindungan atau pun sirene bahaya. Hingga kini lebih dari 300 tewas di Libanon, beribu-ribu terluka, dan hampir sejuta pengungsi. Bayangkan bahwa semua ini tak perlu terjadi jika Israel menepati janji dan membebaskan tawanan Libanon sebagaimana telah disetujui pada tahun 2000. Beberapa tawanan tersebut telah lebih dari 25 tahun mendekam dalam penjara-penjara Israel, dan tidak hanya mereka. Israel memenjara lebih dari 10.000 tawanan, di antara mereka ada 350 kanak-kanak Palestina. Beberapa tahanan bahkan berasal dari Yordania dan Mesir yang telah mempunyai perjanjian damai dengan Israel. Namun tak seorang pun nampak keberatan saat warga Arab dibunuh, diculik, atau dipenjara, dan komunitas internasional menilai bahwa kehidupan dua tentara Israel lebih berharga daripada ratusan warga sipil Libanon, termasuk anak-anak, yang tewas hingga saat ini.


Aku tak tahu apalagi yang mesti kusampaikan, telah lebih dari 10 hari sekarang, dan tak seorang pun bertindak untuk mengakhiri semua ini. Malah sebaliknya AS mengatakan Israel harus mengabaikan permintaan gencatan senjata, dan Condoleezza Rice melukiskan bahwa permohonan Libanon sebagai bagian dari 'kelahiran nyeri baru di Timur Tengah'. Hal ini membuatku tak dapat berkata-kata.... Aku hanya berandai-andai, jika kita sedang membicarakan tentang hak-hak binatang, berapa banyak yang akan datang untuk menyelamatkan mereka. Kasih dan salam, Nida(nrl)
posted by Ummu Hani @ 12:41 PM   0 comments
Matinya Akal Sehat Amerika Serikat
"MATINYA AKAL SEHAT AMERIKA"
Oleh Luthfi Assyaukanie Peneliti Freedom Institute Jakarta


Di tengah gencarnya serangan brutal Israel ke Lebanon belakangan ini, akal sehat setiap orang bertanya, mengapa Amerika Serikat mendiamkan saja, dan bahkan mendukung perilaku barbar itu? Apakah negeri adidaya itu telah kehilangan akal sehatnya sehingga memberikan dukungan tanpa reserve kepada Israel? Sejak lama, para akademisi dan pengamat politik memberikan analisis beragam tentang sebab mengapa Amerika begitu all-out mendukung Israel. Di antara berbagai analisis, ada dua alasan yang mendominasi perdebatan itu. Pertama, Amerika memberikan dukungan kepada Israel lebih besar daripada negara-negara lain karena alasan strategis.

Kedua, Amerika memberikan dukungan itu karena alasan moral. Sejak perang Arab-Israel pada 1967, Amerika menjadi sekutu dan pendukung penuh negeri zionis itu. Sampai kini, bantuan yang telah diberikan AS kepada Israel tak kurang dari 140 miliar dollar AS. Setiap tahunnya negeri berpenduduk tujuh juta itu menerima sekitar 3 miliar dollar AS. Jumlah ini sama dengan seperlima bantuan luar negeri Amerika. Dalam hitungan per kapita, Pemerintah AS memberikan setiap warga Israel sebesar 500 dollar AS setiap tahunnya.


Alasan rapuh Sejak beberapa tahun terakhir, alasan strategis dan moral mulai dipertanyakan oleh para pengamat dan akademisi di Amerika. Kritik paling anyar datang dari dua profesor, John Mearsheimer dari Universitas Chicago dan Stephen Walt dari Harvard University, dalam tulisan mereka yang diterbitkan London Review of Books pada Maret silam. Sedianya, tulisan ini akan diterbitkan di Atlantic Monthly, tapi karena dianggap berbau "anti-semit" tulisan itu ditolak. Di Amerika, anti-semitisme memang merupakan isu yang sangat sensitif, dan membicarakan "Lobi Yahudi" kerap dianggap sebagai bagian dari anti-semitisme.

Tulisan Mearsheimer dan Walt memang berbicara tentang peran Lobi Yahudi di AS. Mereka ingin menegaskan bahwa pendekatan luar negeri Amerika terhadap Timur Tengah yang sangat kuat dipengaruhi Lobi Yahudi sudah seharusnya ditinjau ulang. Mearsheimer dan Walt menganggap bahwa alasan strategis AS dalam mendukung Israel tidak bisa lagi dipertahankan karena beberapa alasan. Pertama, setelah Perang Dingin usai, peran Israel sebagai proxy AS untuk membendung pengaruh Soviet ke dunia Arab praktis sudah berakhir. Setelah Perang Dingin usai, Israel sesungguhnya lebih banyak menjadi beban bagi AS ketimbang menjadi pembantu.

Kedua, sebagai basis militer AS, Israel terbukti tidak efektif karena Amerika masih tetap memerlukan negara-negara lain, seperti Turki dan Arab Saudi, untuk menggelar angkatan perangnya. Ini terjadi secara nyata dalam Perang Teluk 1991. Ketiga, dukungan AS terhadap Israel bukannya mengurangi terorisme, tapi justru mengembangbiakkan teroris di kawasan Timur Tengah. Setiap kali Israel melakukan kekerasan dan AS membantunya, maka kebencian warga Arab-Muslim kepada Israel merembet kepada AS.


Begitu juga, alasan moral yang kerap digembar-gemborkan para pendukung kepentingan Israel di Amerika, menurut Mearsheimer dan Walt, tidak bisa lagi dipertanggungjawabkan karena beberapa alasan. Pertama, Israel bukanlah negara lemah seperti selama ini diteriakkan para pelobi Yahudi di AS. Benar bahwa negeri ini dikepung banyak "musuh" di sekitarnya, tapi Israel cukup kuat dalam menghadapi mereka. Pada Perang 1948, sebelum bantuan militer AS datang secara besar-besaran, Israel cukup mudah mengalahkan koalisi militer negara-negara Arab.

Kini, setelah dukungan berlimpah dari AS, Israel adalah negara terkuat di kawasan itu. Kedua, alasan bahwa Israel adalah negara demokratis adalah alasan yang dibuat-buat. Lagi pula, demokrasi Israel sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi AS karena demokrasi itu bersifat "rasis" yang lebih mengutamakan ras Yahudi. Di Israel ada lebih dari satu juta warga Arab yang diperlakukan sebagai warga "kelas dua" semata-mata karena mereka Arab.

Ketiga, kenyataan bahwa Yahudi adalah bangsa yang pernah mengalami penderitaan di masa silam tidak bisa dijadikan alasan untuk menolong mereka melakukan penderitaan kepada bangsa lain. Adalah bertentangan jika rakyat AS menolong penindasan terhadap bangsa Yahudi, tapi pada saat yang sama menciptakan penindasan kepada orang-orang Palestina.

Keempat, tidak benar bahwa warga Israel pencinta damai dan lebih baik secara moral ketimbang orang-orang Arab. Bukti-bukti sejarah, khususnya sejak berdirinya negara Israel, menunjukkan fakta sebaliknya. Sejak zionisme datang ke Palestina, teror demi teror dilakukan bangsa Israel kepada bangsa Arab. Serial kekerasan penguasa Israel yang terjadi sekarang ini merupakan kelanjutan dari perilaku barbar kaum zionis. Berlagak tuli Dengan analisis seperti itu, Mearsheimer dan Walt mengajak pemerintah dan para pengambil kebijakan di AS untuk kembali kepada prinsip-prinsip politik yang realistis, yakni prinsip yang berorientasi pada kepentingan negara, dan bukan kepentingan negara lain.


Pemerintah AS sudah semestinya meninjau ulang kebijakan luar negeri mereka di Timur Tengah, jika mereka ingin tetap menjadi negara besar yang dihormati. Sayangnya, Amerika seperti sudah kehilangan akal sehat. Kritik-kritik terhadap tindakan AS selalu menghadapi tembok karena Pemerintah AS seperti tak pernah peduli dengan semua itu. Di lingkungan Washington sendiri, tulisan Mearsheimer dan Walt dianggap "sampah" yang hanya menyulut sentimen kebencian terhadap ras Yahudi. Tuduhan ini jelas sangat keterlaluan, mengingat kedua penulis ini adalah akademisi dengan reputasi tinggi dan penganut realisme politik sejati. Jika kepada warganya sendiri Pemerintah Amerika berlagak tuli, kepada siapa lagi negeri adikuasa itu mau mendengar. Perilaku dan kebijakan politik luar negeri Amerika, khususnya menyangkut Timur Tengah, sungguh sangat mengkhawatirkan dan menjadi ancaman serius, bukan hanya bagi keamanan Amerika sendiri (karena ini akan terus menjadi bahan bakar ampuh untuk menyulut kebencian), tapi juga bagi wacana demokrasi, HAM, dan model kemajuan di masa depan.
posted by Ummu Hani @ 11:58 AM   0 comments
about me
My Photo
Name:
Location: Kajang, Selangor, Malaysia

A servant of Allah, a Muslim Woman, Dakwah Activist, University tutor, Master students, love writing and cooking :)

Udah Lewat
Archives
sutbok
Friends
Links
Template by
Blogger Templates
© ~~ Secercah Cahaya Bagi Sesama ~~