"MATINYA AKAL SEHAT AMERIKA" Oleh Luthfi Assyaukanie Peneliti Freedom Institute Jakarta
Di tengah gencarnya serangan brutal Israel ke Lebanon belakangan ini, akal sehat setiap orang bertanya, mengapa Amerika Serikat mendiamkan saja, dan bahkan mendukung perilaku barbar itu? Apakah negeri adidaya itu telah kehilangan akal sehatnya sehingga memberikan dukungan tanpa reserve kepada Israel? Sejak lama, para akademisi dan pengamat politik memberikan analisis beragam tentang sebab mengapa Amerika begitu all-out mendukung Israel. Di antara berbagai analisis, ada dua alasan yang mendominasi perdebatan itu. Pertama, Amerika memberikan dukungan kepada Israel lebih besar daripada negara-negara lain karena alasan strategis.
Kedua, Amerika memberikan dukungan itu karena alasan moral. Sejak perang Arab-Israel pada 1967, Amerika menjadi sekutu dan pendukung penuh negeri zionis itu. Sampai kini, bantuan yang telah diberikan AS kepada Israel tak kurang dari 140 miliar dollar AS. Setiap tahunnya negeri berpenduduk tujuh juta itu menerima sekitar 3 miliar dollar AS. Jumlah ini sama dengan seperlima bantuan luar negeri Amerika. Dalam hitungan per kapita, Pemerintah AS memberikan setiap warga Israel sebesar 500 dollar AS setiap tahunnya.
Alasan rapuh Sejak beberapa tahun terakhir, alasan strategis dan moral mulai dipertanyakan oleh para pengamat dan akademisi di Amerika. Kritik paling anyar datang dari dua profesor, John Mearsheimer dari Universitas Chicago dan Stephen Walt dari Harvard University, dalam tulisan mereka yang diterbitkan London Review of Books pada Maret silam. Sedianya, tulisan ini akan diterbitkan di Atlantic Monthly, tapi karena dianggap berbau "anti-semit" tulisan itu ditolak. Di Amerika, anti-semitisme memang merupakan isu yang sangat sensitif, dan membicarakan "Lobi Yahudi" kerap dianggap sebagai bagian dari anti-semitisme.
Tulisan Mearsheimer dan Walt memang berbicara tentang peran Lobi Yahudi di AS. Mereka ingin menegaskan bahwa pendekatan luar negeri Amerika terhadap Timur Tengah yang sangat kuat dipengaruhi Lobi Yahudi sudah seharusnya ditinjau ulang. Mearsheimer dan Walt menganggap bahwa alasan strategis AS dalam mendukung Israel tidak bisa lagi dipertahankan karena beberapa alasan. Pertama, setelah Perang Dingin usai, peran Israel sebagai proxy AS untuk membendung pengaruh Soviet ke dunia Arab praktis sudah berakhir. Setelah Perang Dingin usai, Israel sesungguhnya lebih banyak menjadi beban bagi AS ketimbang menjadi pembantu.
Kedua, sebagai basis militer AS, Israel terbukti tidak efektif karena Amerika masih tetap memerlukan negara-negara lain, seperti Turki dan Arab Saudi, untuk menggelar angkatan perangnya. Ini terjadi secara nyata dalam Perang Teluk 1991. Ketiga, dukungan AS terhadap Israel bukannya mengurangi terorisme, tapi justru mengembangbiakkan teroris di kawasan Timur Tengah. Setiap kali Israel melakukan kekerasan dan AS membantunya, maka kebencian warga Arab-Muslim kepada Israel merembet kepada AS.
Begitu juga, alasan moral yang kerap digembar-gemborkan para pendukung kepentingan Israel di Amerika, menurut Mearsheimer dan Walt, tidak bisa lagi dipertanggungjawabkan karena beberapa alasan. Pertama, Israel bukanlah negara lemah seperti selama ini diteriakkan para pelobi Yahudi di AS. Benar bahwa negeri ini dikepung banyak "musuh" di sekitarnya, tapi Israel cukup kuat dalam menghadapi mereka. Pada Perang 1948, sebelum bantuan militer AS datang secara besar-besaran, Israel cukup mudah mengalahkan koalisi militer negara-negara Arab.
Kini, setelah dukungan berlimpah dari AS, Israel adalah negara terkuat di kawasan itu. Kedua, alasan bahwa Israel adalah negara demokratis adalah alasan yang dibuat-buat. Lagi pula, demokrasi Israel sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi AS karena demokrasi itu bersifat "rasis" yang lebih mengutamakan ras Yahudi. Di Israel ada lebih dari satu juta warga Arab yang diperlakukan sebagai warga "kelas dua" semata-mata karena mereka Arab.
Ketiga, kenyataan bahwa Yahudi adalah bangsa yang pernah mengalami penderitaan di masa silam tidak bisa dijadikan alasan untuk menolong mereka melakukan penderitaan kepada bangsa lain. Adalah bertentangan jika rakyat AS menolong penindasan terhadap bangsa Yahudi, tapi pada saat yang sama menciptakan penindasan kepada orang-orang Palestina.
Keempat, tidak benar bahwa warga Israel pencinta damai dan lebih baik secara moral ketimbang orang-orang Arab. Bukti-bukti sejarah, khususnya sejak berdirinya negara Israel, menunjukkan fakta sebaliknya. Sejak zionisme datang ke Palestina, teror demi teror dilakukan bangsa Israel kepada bangsa Arab. Serial kekerasan penguasa Israel yang terjadi sekarang ini merupakan kelanjutan dari perilaku barbar kaum zionis. Berlagak tuli Dengan analisis seperti itu, Mearsheimer dan Walt mengajak pemerintah dan para pengambil kebijakan di AS untuk kembali kepada prinsip-prinsip politik yang realistis, yakni prinsip yang berorientasi pada kepentingan negara, dan bukan kepentingan negara lain.
Pemerintah AS sudah semestinya meninjau ulang kebijakan luar negeri mereka di Timur Tengah, jika mereka ingin tetap menjadi negara besar yang dihormati. Sayangnya, Amerika seperti sudah kehilangan akal sehat. Kritik-kritik terhadap tindakan AS selalu menghadapi tembok karena Pemerintah AS seperti tak pernah peduli dengan semua itu. Di lingkungan Washington sendiri, tulisan Mearsheimer dan Walt dianggap "sampah" yang hanya menyulut sentimen kebencian terhadap ras Yahudi. Tuduhan ini jelas sangat keterlaluan, mengingat kedua penulis ini adalah akademisi dengan reputasi tinggi dan penganut realisme politik sejati. Jika kepada warganya sendiri Pemerintah Amerika berlagak tuli, kepada siapa lagi negeri adikuasa itu mau mendengar. Perilaku dan kebijakan politik luar negeri Amerika, khususnya menyangkut Timur Tengah, sungguh sangat mengkhawatirkan dan menjadi ancaman serius, bukan hanya bagi keamanan Amerika sendiri (karena ini akan terus menjadi bahan bakar ampuh untuk menyulut kebencian), tapi juga bagi wacana demokrasi, HAM, dan model kemajuan di masa depan.
|