Sunday, February 14, 2010 |
New Posting |
Salam. Dear All, ini nih tulisan baru ana, akan dipublish di buletin LDK UPIM UNTAD, selamat membaca
PRINSIP-PRINSIP KOMUNIKASI DALAM ISLAM Rahmawati Latief
Seorang laki-laki menghadap ke Rasulullah sallallahu ‘alaihi wassalam “Wahai Rasulullah, aku ingin Islam tetapi aku tidak bisa meninggalkan zina” “Relakah bila ibu kamu dizinai? tanya Rasulullah dengan lembut Lelaki itu menjawab “Tidak” “Lalu relakah bila putri kamu dizinai? tanya Rasulullah kembali Lelaki itu mengulang jawaban yang sama “Tidak” “Dan relakah bila bibi kamu dizinai? sapa Rasulullah kembali Lelaki itu kembali menjawab “Tidak”. Akhirnya Rasulullah bersabda “Bagaimana orang lain akan rela, padahal kamu sendiri tidak rela dengan hal itu?”. Seketika itu juga pemuda yang bertanya tadi membayangkan sikap orang-orang ketika kerabat mereka dizinai, seperti sikapnya ketika kerabat wanitanya dizinai. Semangat ke-Islaman mulai menyeruak di dalam dada dan akhirnya dia berkata “Aku bertaubat kepada Allah dari perbuatan zina”. [1]
Perbincangan di atas disaksikan oleh para sahabat Rasulullah, dan beberapa di antara mereka sempat terpancing emosi karena mereka merasa kesal dengan pertanyaan pemuda tersebut yang dianggap bertendensi hawa nafsu, tetapi Rasulullah adalah ahli komunikator terbaik yang dimiliki oleh ummat Islam, panduan uswatun hasanah yang penuh kasih sayang dan keteladanan. Pertanyaan pemuda tersebut ditanggapi dengan berbagai pertanyaan retoris yang mampu membangkitkan kesadaran seorang pemuda yang gemar berzina untuk bertaubat kepada Allah subhanahuwataala. Beliau tidak perlu meninggikan suara, marah tanpa terkontrol, atau menunjukkan kekesalan dengan wajah yang merah padam dan genggaman kepalan tangan, dan ia pun tidak perlu menyampaikan dalil-dalil haramnya perbuatan zina secara eksplisit, namun Rasulullah mengemas pesan secara bijak dengan menyentuh hati pemuda tersebut agar nilai-nilai Islam tersampaikan secara baik. Retorika Rasulullah di sampaikan dengan cara sederhana, tidak menggurui, cerdas, jujur, dan menggugah. Retorika yang muncul dari pancaran kepribadian yang mempesona, yang istiqomah perkataan dan perbuatannya. Rasulullah menerapkan seluruh prinsip-prinsip komunikasi dalam al-Quran secara konsisten sehingga tidak mengherankan kalau peradaban masyarakat Madinah pada masa awal adalah bukti konkret keberhasilan dakwah Rasulullah. Digambarkan, hubungan sosial masyarakatnya sangat hangat dan indah, saling menghargai dan menghormati di tengah-tengah perbedaan, tidak saling memaksakan kehendak dan pendapat sendiri. Keberhasilan ini tidak lepas dari kemampuan Rasulullah dalam mengkomunikasikan ajaran-ajaran Islam dengan baik yang didukung oleh kemuliaan budi pekerti. [2] Dengan demikian, strategi berkomunikasi yang benar mestilah merujuk kepada strategi Rasulullah dalam berkomunikasi. Al-Quran sebagai pedoman hidup manusia telah mengatur prinsip-prinsip berkomunikasi yang baik dengan cara melakukan komunikasi yang baik, jujur, benar, penuh lemah lembut, dan membekas dalam jiwa agar ajaran-ajaran Islam dapat dipahami dengan baik oleh ummat. Perintah komunikasi melibatkan unsur komunikator, pesan, media, komunikan, efek agar komunikasi dapat berjalan efektif. Efektif maksudnya bahwa pesan yang disampaikan oleh komunikator dapat dipahami oleh komunikan sehingga menimbulkan efek yang signifikan terhadap komunikan. Di dalam Al-Quran tidak dijelaskan secara eksplisit tentang pengertian komunikasi tetapi prinsip-prinsip komunikasi yang efektif dijelaskan melalui beberapa term dalam beberapa surah seperti Qaulan Balighan (QS 4:63), Qaulan Maisuran (QS 17:28), Qaulan Kariman (QS 17:23), Qaulan Ma’rufan (QS 2:235, 4:5&8, 33:32), Qaulan Layyinan (QS 20:44), Qaulan Sadidan (QS 4:9. 33:70). [3] Prinsip-prinsip ini tidak hanya digunakan dalam kegiatan dakwah tetapi seluruh aspek kehidupan manusia yang menggunakan kegiatan komunikasi.
Prinsip-Prinsip Komunikasi Ada beberapa prinsip-prinsip komunikasi dalam Islam yang akan dijelaskan berikut ini:
1. Qaulan Balighan
Di dalam term al-Quran, term Qaulan Balighan disebut hanya sekali dalam surah An-Nisa: 63. “Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.” Term baligh yang berasal dari ba la gha, oleh para ahli bahasa dipahami sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain, atau sampainya mengenai sasaran atau tujuan, juga bisa dimaknai dengan “cukup” (al-kifayah), sehingga perkataan yang baligh adalah perkataan yang membekas dan merasuk dalam jiwa manusia. [4] Dilihat dari definisi di atas, maka pemahaman tentang balighan termasuk dalam kategori prinsip komunikasi yang efektif. Pesan harus disampaikan mengenai sasaran dengan metode yang tepat. Khutbah-khutbah Rasulullah yang disampaikan secara singkat, tapi padat makna dengan mimik wajah yang serius dan diksi yang menyentuh hati para pendengarnya adalah salah satu contoh penggunaan qaulan balighan.
2. Qaulan Maisuran
Term ini hanya ditemukan sekali saja dalam surah Al-Isra ayat 28. “Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut.” Pada prinsipnya, qaulan maisuran adalah segala bentuk perkataan yang baik, lemah lembut, dan melegakan. [5] Ada juga yang menjelaskan bahwa qaulan maisuran adalah menjawab dengan cara yang sangat baik, lemah lembut, dan tidak mengada-ada. Ada juga yang berpendapat sama dengan pengertian qaulan ma’rufan. Artinya perkataan yang maisur, adalah ucapan yang wajar dan sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi masyarakat setempat. [6] Ucapan yang lemah lembut adalah perisai seorang muslim dalam berkomunikasi. Meskipun konflik perbedaan pendapat semakin panas tetapi kalau metode penyampaian dapat dilakukan secara lemah lembut biasanya debat yang terjadi akan terkontrol, namun perkataan lemah lembut ini tidak muncul begitu saja melainkan harus dilatih dan diiringi dengan budi pekerti yang baik.
3. Qaulan Kariman
Term ini ditemukan dalam al-Quran hanya sekali saja dalam surah Al-Isra ayat 23. “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya dengan perkataan yang baik.” Pemahaman ayat di atas memberikan petunjuk untuk berbuat baik kepada orang tua khususnya lagi kepada orang tua yang sudah berusia lanjut untuk tidak mengatakan “ah”, tidak membentak keduanya, dan diperintahkan mengucapkan perkataan yang baik atau qaulan kariman kepada mereka. Dalam hal ini, al-Quran menggunakan term karim yang secara kebahasaan berarti mulia. Term ini bisa disandarkan kepada Allah, misalnya Allah Maha Karim, artinya Allah Maha Pemurah; juga bisa disandarkan kepada manusia, yaitu menyangkut keluhuran akhlak dan kebaikan prilakunya. Artinya, seseorang akan dikatakan karim, jika kedua hal itu benar-benar terbukti dan terlihat dalam kesehariannya. [7] Namun, jika term karim dirangkai dengan kata qaul atau perkataan, maka berarti suatu perkataan yang menjadikan pihak lain tetap dalam kemuliaan, atau perkataan yang membawa manfaat bagi pihak lain tanpa bermaksud merendahkan. [8]
4. Qaulan Ma’rufan
Di dalam al-Quran term ini disebut empat kali, pertama dalam surah Al-Baqarah ayat 235. “Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang baik…” Kedua, dalam surah An-Nisa ayat 5 “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. “ Ketiga, dalam surah An-Nisa ayat 8 “Dan apabila waktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” Keempat, dalam surah al-Ahzab ayat 32 “Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemahlembutkan suara), dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”. Menurut A. Husnul Hakim IMZI (2008), kata ma’ruf di dalam al-Quran terdapat sebanyak 38 kali, yang bisa diperinci sebagai berikut : a. Terkait dengan masalah tebusan dalam masalah pembunuhan, setelah mendapatkan pemaafan terkait dengan wasiat. b. Terkait dengan persoalan thalaq, nafkah, mahar, ‘iddah, pergaulan suami isteri. c. Terkait dengan dakwah. d. Terkait dengan pengelolaan harta anak yatim. e. Terkait dengan pembicaraan atau ucapan. f. Terkait dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut al-Ishfahani, term ma’ruf menyangkut segala bentuk perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan syara. [9] Dalam beberapa konteks al-Razi juga menjelaskan bahwa qaulan ma’rufan adalah perkataan yang baik, menancap ke dalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh. [10] Perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu. [11] Perkataan yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkataan yang baik. [12]
5. Qaulan Layyinan
Di dalam al-Quran term Qaulan Layyinan hanya ditemukan sekali saja dalam surah Thaha ayat 44. “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” Asal makna layyin adalah lembut atau gemulai, yang pada mulanya digunakan untuk menunjuk gerakan tubuh. Kemudian kata ini dipinjam untuk menunjukkan perkataan yang lembut. [13] Sementara yang dimaksud dengan qaulan layyinan adalah perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh di mana si pembicara berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara tersebut. Dengan demikian, qaulan layyinan adalah salah satu metode dakwah, karena tujuan utama dakwah adalah mengajak orang lain kepada kebenaran, bukan untuk memaksa dan unjuk kekuatan. [14]
6. Qaulan Sadidan
Di dalam al-Quran term qaulan sadidan disebutkan dua kali. Pertama dalam surah An-Nisa ayat 9 “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” Kedua, dalam surah Al-Ahzab ayat 70 “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” Berkaitan dengan perkataan qaulan sadidan, ada banyak penafsiran, antara lain perkataan yang jujur dan tepat sasaran [15], perkataan yang lembut dan mengandung kemuliaan bagi pihak yang lain [16], pembicaraan yang tepat sasaran dan logis [17], perkataan yang tidak menyakitkan pihak lain [18], perkataan yang memiliki kesesuaian antara apa yang diucapkan dengan apa yang di dalam hatinya [19]
Realitas dan Solusi
Dari uraian di atas jelas terlihat prinsip-prinsip komunikasi dalam Islam yang sumbernya berasal dari al-Quran mengajarkan kita berkomunikasi secara jujur, benar, rasional, lemah lembut, tidak menyakiti perasaan orang lain, tidak memandang rendah orang lain, tidak munafik, padat makna dan tepat sasaran, istiqomah antara ucapan, hati dan perbuatan, pernyataan membekas dalam jiwa, ajakan berbuat kebaikan, tidak mengada-ada dan komunikasi yang membawa kebaikan dan manfaat kepada orang lain. Namun secara realitas prinsip-prinsip ini belum terlaksana dengan baik dalam kehidupan manusia. Dalam konteks kegiatan dakwah, para da’i dan aktivis masih banyak menggunakan metode komunikasi koersif atau memaksa kepada mad’unya atau objek dakwah dalam melaksanakan perintah Allah, pesan yang disampaikan sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah tetapi menggunakan cara yang kurang simpatik, sehingga sebahagian para jamaah meninggalkan acara-acara pegajian atau sebahagian para jamaah mengatakan bahwa isi dakwah hanya berbicara tentang surga dan neraka saja. Kadang-kadang hal ini juga temukan dalam dakwah yang dilakukan di dalam rumah, para pemuda-pemudi Muslim yang baru saja mendapatkan ilmu agama dari para ustadz-ustadzahnya menyampaikan ilmunya dengan cara yang melukai hati orang tua atau para kerabat. Mereka menganggap bahwa kebenaran itu wajib disampaikan meskipun pahit. Tentunya tidak ada yang salah dengan pesan yang disampaikan tetapi metode yang tidak bijak dapat menimbulkan persoalan yang baru. Keluarga bisa semakin jauh dengan dakwah yang kita lakukan. Dalam dunia pendidikan, ini pun banyak terjadi, pendidik menyampaikan ilmu kepada siswa atau mahasiswa dengan menggunakan pendekatan dan komunikasi yang kaku, alergi terhadap kritik dari anak didik, menganggap dirinya (pendidik) adalah satu-satunya sumber kebenaran, padahal ilmu itu dapat berkembang melalui adu kritik yang cerdas, sehat dan terkontrol. Di dalam pergaulan sehari-hari, kita masih sangat sering menemukan percekcokan yang bermuara kepada tingkat kriminal yang serius (misalnya: pembunuhan, penikaman, pembakaran, perkelahian massal) karena kata-kata kasar yang tidak dipikirkan atau karena hal-hal yang sepele tetapi tidak diiringi oleh permintaan maaf. Penulis pernah melihat kejadian nyata di jalan Jatiwaringin, Jakarta Timur, ketika sopir mikrolet menyenggol secara tidak sengaja sebuah mobil yang dikendarai oleh seorang pilot yang akan bergegas ke bandara, dengan kata-kata kasar penuh amarah sang pilot memaki-maki sang sopir. Saya hanya trenyuh melihat kejadian seperti ini. Persoalan sepele dapat menjadi pemicu keluarnya kata-kata kasar yang melukai. Dalam dunia keluarga, komunikasi yang tidak Islami masih sangat sering terjadi, seorang ibu memaki-maki anak yang berusia 2 tahun karena menumpahkan semangkok bakso di atas karpet ruang tamu, padahal anak yang berusia 2 tahun itu belum bisa bernalar dengan baik. Atau seorang suami yang memarahi isterinya dengan kata penuh celaan karena terlambat menyajikan makanan tepat waktu. Atau sebaliknya seorang isteri mengucapkan kata-kasar kepada suami karena memberikan nafkah yang tidak cukup kepadanya. Atau seorang kakak yang cekcok kepada adiknya karena menggunakan motor kesayangannya tanpa seizinnya. Ketidakharmonisan komunikasi dalam keluarga ini sangat sering terjadi, padahal yang kita sakiti adalah orang-orang yang kita cintai atas nama Allah. Semestinya penerapan komunikasi yang Islami dan baik mestilah berawal dari rumah karena rumah adalah sekolah pertama untuk berkomunikasi dengan penuh kasih sayang bagi penghuninya sebelum mereka keluar dan melakukan interaksi dengan komunitas yang lain. Hal ini juga semakin diperburuk oleh tayangan dalam sebahagian besar televisi yang sering mempertontonkan dialog-dialog kasar dalam beberapa program TV. Dialog tersebut bisa berbentuk kata-kata ejekan, celaan yang merendahkan kaum minoritas seperti orang-orang cacat dan pembantu atau perkataan yang mengeksploitasi unsur-unsur seksual terhadap perempuan atau perkataan yang tidak santun terhadap orang tua, guru dan kerabat yang seharusnya kita hormati. Tragisnya tayangan-tayangan ini dinikmati oleh anggota keluarga kita tanpa disadari bahwa televisi dapat menjadi ‘guru’ dalam membentuk model komunikasi yang buruk. Solusi untuk semua ini, mestilah berawal dari kesadaran bahwa setiap apa yang kita ucapkan dalam bentuk perkataan akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah subhanahuwataala di hari akhirat kelak. Hal ini jelas dalam firman-Nya, surah An-Nur: 24 “Pada hari, (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” Dengan kesadaran seperti ini, tentunya akan berfungsi sebagai alat kontrol setiap perkataan yang akan kita ucapkan. Kedua, belajar untuk melatih diri berkomunikasi secara baik terhadap orang tua, kerabat, guru, tetangga, kolega dan sesama manusia. Sebab komunikasi yang baik akan muncul dari kebiasaan yang baik. Ketiga, memperkecil mudharat dari komunikasi negatif yang kita lakukan. Misalnya menahan mengucapkan perkataan kasar ketika sedang marah. Tidak menyindir terlalu berlebihan ketika sedang kesal terhadap seseorang. Keempat, berdoa agar terhindar dari ucapan yang buruk dan dosa-dosa lisan. Dengan demikian, dunia ini akan semakin damai dengan penerapan prinsip-prinsip komunikasi yang Islami. Semoga.
Glugor, P.Penang, 13022010 (Penulis adalah alumni of Media and Communication Studies (MENTION), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), pernah mengajar di FISIP Ilmu Komunikasi Universitas Tadulako (UNTAD) Palu, kini menetap bersama suami di Pulau Penang, Malaysia ).
Catatan Kaki : [1]. http://www.wahdah.or.id/wis/index.php?option=com_content&task=view&id=288&Itemid=193 [2]. A. Husnul Hakim, IMZI, Prinsip-Prinsip Komunikasi dalam Al-Quran: Suatu Kajian Tafsir Tematik.http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=37&Itemid=34 [3]. http://www.wahdah.or.id/wis/index.php?option=com_content&task=view&id=288&Itemid=193 dan http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=37&Itemid=34 [4]. Ibn ‘Asyur al-Tahrir, jilid 4, h.978 [5]. Al-Qurthubi, al-jami, jilid 10, h.107 [6]. Al-Razi, Mafatih al-Ghaib, jilid 20, h.155 [7].Al-Ishfahani, al-Mufradat, pada term karama, h.428 [8].Al-Ishfahani, al-Mufradat h. 429 [9].Al-Ishfahani, al-Mufradat, pada term ‘Arafa, h.331 [10].Al-Razi, Mafatih, jilid 9, hal. 152 [11].Al-Razi, Mafatih, jilid 9 hal. 161 [12].Al-Razi, Mafatih, jilid 25 hal.180 [13].Ibn ‘Asyur, al-Tahrir, jilid 16, hal. 225 [14].Ibn ‘Asyur, al-Tahrir, jilid 16, hal. 225 [15].Al-Razi, Mafatih, juz 9, hal 199 [16].Al-Razi, Mafatih, juz 9, hal 99. Mengutip dari al-Zamakhsyari [17].Rasyid Ridha, al-Manar, jilid 4, h.327 [18].Al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, jilid 4, hal 2021 [19].Ibn ‘Asyur, al-Tahrir jilid 14, h.3403 Catatan kaki no [4] hingga [19] dikutip dalam tulisan di web http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=37&Itemid=34 |
posted by Ummu Hani @ 8:17 PM |
|
|
about me |
- Name: Ummu Hani
- Location: Kajang, Selangor, Malaysia
A servant of Allah, a Muslim Woman, Dakwah Activist, University tutor, Master students, love writing and cooking :)
View my complete profile
|
Udah Lewat |
|
Archives |
|
sutbok |
|
Friends |
|
Links |
|
Template by |
|
|