Wednesday, November 29, 2006
Pamit...
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh


Sahabat Pembaca, Insha Allah saya akan off duty sebagai blogger selama 1,5 bulan sebab ada proyek spiritual yang mesti saya lakukan yang mana jadwal kegiatannya sangat sakral, padat dan semoga berberkah. Allahumaamien. Bagi yang ingin bersilaturahmi, berdiskusi Insha Allah kita dapat berjumpa kembali pada pertengahan Januari 2007. Semoga persaudaraan ini tetap terjalin dan abadi karena Allah Subhanahuwataala.

Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Ummu Hani, Selangor Malaysia.
posted by Ummu Hani @ 3:09 AM   0 comments
Thursday, November 23, 2006
Nasheed
Allah is enough for me
by Zaïn Bhikha



When he was placed in the well
or locked in the dungeon
betrayed by his own flesh and blood
convicted of what he did not
handsome Yusuf sighed
Allah is enough for me!


Taken in as a slave
made to work night and day
resisting all temptation
Allah is enough for me!


Until the king had a dream
Many hard years had gone by
patience and repentance
Allah is enough for me!


Till...the fortunate day
there he sees his father
in the land of content
Allah is enough for me!
Handsome Yusuf cried
Allah is enough for me!


Every night brings a new day
Allah alleviates all pain
Everything has its end
Allah is enough for me!
Everything has its end
Allah is enough for me!
Allah is enough for me!

its source : Here
posted by Ummu Hani @ 5:07 AM   1 comments
Tuesday, November 14, 2006
UNTUK PEREMPUAN; Sepatah Petuah di Hari Raya
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh



Sahabat Pembaca,
kali ini saya tidak menulis, tetapi menforwardkan artikel yang ditulis oleh teman-teman kami di INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization), sebuah institusi yang membahas tema-tema pemikiran dan peradaban Islam. Kali ini ada dua tulisan tentang perempuan, kaum hawa, tema yang tak habis-habisnya dieksplorasi untuk didiskusikan. Mudah-mudahan artikel ini bermanfaat.

UNTUK PEREMPUAN; Sepatah Petuah di Hari Raya
Oleh : Nidlol Masyhud*


Di suatu momen di pagi Hari Raya, Rasulullah saw menyempatkan diri untuk menghampiri jamaah wanita Shalat `Id di lapangan. Beliau lantas memberikan sebuah petuah, "Yâ ma`syara'n nisâ'… tashaddaqna! Fainnî ra'aitukunna aktsara ahli'n nâr." ("Wahai para wanita, gemarlah bersedekah! Sebab aku telah melihat bahwa kalianlah penduduk neraka yang paling banyak."). Mendadak para jamaah itu bertanya balik kepada Rasul, "Kenapa bisa begitu wahai Rasulullah?" . Jawab Rasul, "tuktsirna'l la`na, wa takfurna'l `asyîr" ("Karena kalian suka melontarkan kutukan dan mengingkari kebaikan orang").

Rasul lalu melanjutkan, "mâ ra'aitu min nâqishâti `aqlin wa dîn adzhaba li lubbi rajulin hâzimin min ihdâkunna" ("Aku tidak menemukan orang seperti kalian, yang meskipun kurang secara akal dan agama tapi bisa mengalahkan keteguhan seorang lelaki yang tegar."). Para jamaah kembali bertanya balik, "Di mana letak kekurangan akal dan agama kami wahai Rasulullah?" . Rasul menjawab seraya bertanya, "Bukankah persaksian seorang wanita setara dengan separoh persaksian laki-laki?". "Betul!" sahut mereka. "Itulah wujud kurangnya akal." Kemudian Rasul bertanya lagi, "Bukankah ketika wanita sedang haidl, ia tidak sholat dan tidak puasa?". "Betul!" jawab mereka. "Itulah wujud kurangnya agama."

Hadits muttafaq `alaih riwayat Abu Sa'id, Ibnu Umar, dan Abu Hurairah radliyallâhu `anhum ini di zaman kontemporer sering menjadi poros pertentangan banyak kalangan. Poin paling utama yang dipertentangkan adalah stratemen Rasulullah saw di atas yang tegas-tegas menyatakan bahwa dibanding laki-laki, perempuan memiliki kekurangan secara akal maupun agama. Kekurangan secara akal, ditandai oleh kenyataan bahwa ketika menetapkan syariat persaksian (khususnya dalam persaksian hutang), Allah menyetarakan persaksian seorang wanita dengan separoh persaksian laki-laki. Sedangkan kekurangan secara agama, tampak nyata dalam perbandingan kuantitas amalan sholat dan puasa antara laki-laki dan perempuan ketika masa-masa datang bulan. Statemen yang sangat jelas ini sering diingkari dengan dalih bahwa hal itu merupakan penghinaan nyata terhadap harkat dan martabat perempuan. Juga karena hal itu bertentangan dengan semangat `kesetaraan jender'. Padahal dalam hadits di atas, Rasulullah saw menjelaskan bahwa kekurangan akal dan agama tersebut adalah kekurangan yang sifatnya alami (karena faktor fisiologi), dan beliau sama sekali tidak mencela para perempuan karena kedua kekurangan ini. Para perempuan yang disebutkan itu masuk neraka juga bukan gara-gara kedua kekurangan tadi, akan tetapi karena kegemaran mereka untuk melontarkan kutukan dan karena mereka suka mengingkari kebaikan orang. Juga karena tabiat ketiga perempuan yang sebentar lagi akan kita singgung dalam tuliusan ini.

Yang cukup ironis, perdebatan kusir zaman ini mengenai benar-tidaknya statamen argumentatif Rasulullah tersebut, ternyata cukup membuat kandungan utama hadits fi`ly sekaligus qawly di atas menjadi terlupakan dan tak lagi mendapat perhatian. Orang lebih kerap berdebat mengenai benar tidaknya kekurangan akal perempuan dibanding laki-laki. Sebagian berusaha membantah statemen Rasulullah di atas dengan mengatakan bahwa secara faktual di sekolah-sekolah dan tempat-tempat kerja, banyak perempuan yang lebih cerdas dari rekan-rekannya yang laki-laki. Sebagian lain, berusaha mentakwil kandungan hadits di atas dengan menyatakan bahwa saat itu Rasulullah hanya bergurau dan sedang bercanda. Bahkan sebagian yang lain, menolak mentah-mentah hadits tersebut atau mempersempit cakrawalanya dengan mengklaim bahwa statamen itu adalah bias budaya patriarkis yang telah memasung martabat perempuan.

Padahal statemen tersebut adalah penilaian secara umum dan rata-rata. Sehingga bisa saja ada wanita-wanita tertentu yang lebih unggul akalnya dibanding banyak lelaki. Tapi tetap saja ada banyak lelaki lain di dunia yang lebih unggul dari wanita tersebut. Sebagaimana Maryam binti Imron adalah wanita pilihan di seantero jagad manusia dan kedudukan serta akalnya jauh lebih râjih dibanding banyak laki-laki. Akan tetapi, beliau masihlah tidak sebanding dengan para nabi dan rasul yang semuanya laki-laki. Kelebihan yang dimiliki oleh laki-laki adalah kelebihan natural yang memang dianugerahkan oleh Allah semenjak awal, sebagaimana Allah melebihkan fisik Kaum `Ad, nasib Bani Israel, dan daya hafal Bangsa Arab. Begitu juga kelebihan orang dewasa dibanding anak-anak. Semua ini adalah wujud anugerah yang sama-sekali tidak mengurangi nilai keadilan. Apalagi, segala kelebihan ini juga adalah nikmat yang harus disyukuri dan disalurkan dalam ketaatan, seperti kata Nabi Sulaiman as, "liyabluwanî a'asykuru am akfuru". Di sisi lain, perempuan juga memiliki kelebihan-kelebihan unik yang tidak dipunyai oleh laki-laki. Jadi segala natur ciptaan Allah dan segala butir aturan syariat-Nya ini telah tersusun secara proporsional, kompak, hikmah, dan saling melengkapi.

Rasulullah saw ketika momen Hari Raya tersebut juga tidak mungkin sedang bergurau atau bercanda. Sebab konteks hadits tersebut adalah konteks pemberian nasehat dan peringatan akan api neraka. Kalaupun sedang bergurau, tentu juga sudah maklum bahwa Rasul tidak pernah bergurau dengan hal-hal yang mengandung kebohongan. Menganggap budaya patriarkis sebagai budaya yang memasung martabat perempuan (bukan menempatkan perempuan pada posisi yang semestinya) juga adalah argumentasi rapuh yang dibangun di atas asumsi non-analitis yang sama sekali tidak aksiomatis. Di sini lain, sangkalan ini juga sebenarnya hanya sekedar pengalihan gawang dari titik pertentangan yang sesungguhnya. Kembali ke poin saya di awal. Gara-gara perdebatan mengenai "kekurangan akal" tersebut, banyak kalangan yang justru melalaikan kandungan utama dari hadits di atas. Padahal hadits ini memuat petuah profetik yang sangat signifikan bagi kaum perempuan. Rasulullah menjelaskan bahwa ada tiga tabiat jelek yang kerap mengjangkiti perempuan dan berpotensi untuk menjadi faktor yang akan mengantarkannya pada pintu neraka. Ketiga faktor itu adalah (1) iktsâru'l la`nah, (2) kufrânu'n ni`mah, dan (3) iftitânu'r rijâl. Tingkat kesempurnaan perempuan juga bisa diukur dari seberapa kecil ketiga tabiat ini tersemat dalam dirinya. Yang pertama artinya suka mencela, mencibir, mencerca, mengutuk, dan melontarkan sumpah serapah. Yang kedua artinya suka mengingkari pemberian dan kebaikan yang sudah diberikan oleh orang lain, terutama suaminya. Seperti disinggung oleh hadits lain di Shahîh Bukhâry, banyak kalangan istri yang suaminya sudah sedemikian rupa berkorban dan berusaha untuk selalu memberikan yang terbaik baginya, namun ia justru menyangkal dengan mengatakan "kamu belum memberiku apa-apa!". Sedangkan faktor ketiga adalah bahwa dengan segala kekurangannya secara intelektual maupuan agama, perempuan memiliki `daya pikat' dan `kekuatan rayu' yang sangat besar yang mampu meruntuhkan pertahanan seorang laki-laki, yang tegar sekalipun. Ketika potensi ini digunakan oleh perempuan untuk menggelincirkan laki-laki sehingga melakukan perbuatan tercela atau melalaikan kewajiban utama, maka tentu saja potensi rayu ini akan berpulang menjadi faktor bencana bagi perempuan itu sendiri dan mengantarkannya ke pintu neraka.

Itulah tiga karakter yang rawan menjadi faktor bencana bagi perempuan. Tapi Islam bukan agama yang compang-camping. Bukan juga syariat yang menyulitkan atau aturan yang memberi beban. Tatanan sistem samawi yang bersumber dari Tuhan yang Mahakasih, Mahaadil, dan Mahatahu ini tentu sudah tersusun secara cermat dan seimbang. Kekurangan-kekurang an perempuan di atas, ditutupi oleh pemberian pahala yang amat besar untuk hal-hal yang sederhana atau biasa dilakukan. Kesabaran perempuan ketika mengandung dan merawat anak, adalah ibadah besar yang membuat seorang ibu memperoleh hak balas tiga kali lipat dibanding seorang bapak. Ketaatan seorang istri terhadap suaminya, juga merupakan ibadah utama yang seperti dinyatakan Rasulullah, "ta`dilu dzâlika kullahu!", artinya setara dengan ibadah-ibadah haji, jamaah, dan jihad di sabilillah. Padahal, mentaati suami dan memelihara anak adalah aktifitas tradisional yang memang biasa dilakukan oleh perempuan, dengan maupun tanpa agama.

Selain itu, dalam hadits di atas Rasulullah memberikan sebuah resep canggih yang bisa menutupi ketiga potensi negatif perempuan tadi, yaitu "banyak bersedekah". Dalam riwayat Muslim ditambahkan frase "dan banyaklah beristighfar" . Sedekah ini mencakup sedekah harta, tenaga, ucapan, doa, nasehat, perhatian, dzikir, shalat sunat, dan sebagainya. Sedekah ini sekilas kelihatan sepele, tapi ia sebenarnya memiliki nilai yang amat tinggi. Seperti sabda Rasul, "ash-shadaqatu tuthfi'u'l khathâyâ kamâ yuthfi'u'l mâ'u'n nâr". Kita pun menyaksikan, bahwa rata-rata perempuan yang gemar bersedekah dan membantu orang papa, adalah juga perempuan-perempuan tangguh yang tidak lagi "gemar mengutuk", tidak lagi "mengingkari kebaikan", dan tidak lagi "suka merayu". Itulah yang dicontohkan oleh wanita-wanita sempurna seperti Maryam, Asiyah, dan Khadijah. Itupula yang kemudian dipraktekkan oleh para shahabiyat ketika mendengar petuah Rasulullah di atas. Itu pula yang sedang ingin saya sampaikan kepada para pembaca. Meskipun saya juga maklum, bahwa tulisan ini akan lebih banyak dibaca oleh laki-laki. Akhirnya, saya harus mengakhiri tulisan ini dengan berharap semoga momen Syawal tahun ini bisa menjadi momen bagi terbukanya curahan rahmat dan maghfirah dari Allah Ta'ala kepada kita. Amin.

* anggota ICMI


Komentar :
Artikel ini menarik, tetapi ada yang lebih menarik perhatian saya dalam kata-kata tiga baris terakhir dari tulisan ini "Meskipun saya juga maklum, bahwa tulisan ini akan lebih banyak dibaca oleh laki-laki". Pernyataan ini menarik, sebab secara tidak langsung hal ini telah mengindikasikan bahwa perempuan masih 'malas' membaca tentang dirinya dan kehidupannya. Semoga tidak seperti itu.

Oh ya, saya membuka babak diskusi untuk artikel ini, silahkan sahabat pembaca mengapresiasi tulisan ini dengan memberikan komentar,tanggapan, kritikan atau mungkin penjelsan tambahan. Kalau ada komentar atau analisis yang memerlukan jawaban langsung dari penulisnya, insha allah, saya bisa melinkkan dengan beliau.

Komentar anda bisa dituliskan dalam rubrik comment.
Terima Kasih
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Ummu Hani, Kajang Selangor Darul Ehsan Malaysia.
posted by Ummu Hani @ 10:51 PM   1 comments
Kisah Cinta yang Mengharu Biru (True Story)
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Sahabat Pembaca, artikel ini merupakan kisah nyata. Sebuah kisah pernikahan Prof. Dr. Mamduh Hasan Al-Ganzouri dengan Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz yang penuh dengan perjuangan, tantangan menghadang untuk sebuah tujuan mulia untuk mengabadikan cinta mereka di jalan Allah. Mereka berusaha tegar, berusaha sabar, dan tidak henti-hentinya meraih obsesi untuk kemaslahatan ummat ditengah penderitaan mereka. Roda kehidupan selalu berputar, demikian pula penderitaan mereka, Alhamdulillah, kini kebahagiaan mereka peroleh. Membaca kisah ini, nyaris saya membaca sebuah novel cinta, tetapi sungguh kisah mereka melebihi kisah di novel cinta. Insha allah, kisah ini cinta ini adalah nyata dan menyentuh hati. Saya harap kisah ini membawa hikmah dan perenungan buat kita semua. Amien.
Selamat Menikmati.


Ketika Derita Mengabadikan Cinta


"Kini tiba saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan untuk kedua mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr. Mamduh Hasan Al-Ganzouri . Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo dan Dikrektur Rumah Sakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf terkemuka di Timur Tengah, yang tak lain adalah juga dosen kedua mempelai.


Kepada Professor dipersilahkan. .."Suara pembawa acara walimatul urs itu menggema di seluruh ruangan resepsi pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi sungai Nil, Kairo.Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akan disampaikan pakar syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-nanti mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan kesehatan syaraf dari professor yang murah senyum dan sering nongol di televisi itu.Sejurus kemudian, seorang laki-laki separuh baya berambut putih melangkah menuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan wibawa. Kepalanya yang sedikit botak, meyakinkan bahwa ia memang seorang ilmuan berbobot. Sorot matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan pribadi yang tegas. Begitu sampai di podium, kamera video dan lampu sorot langsung shoot ke arahnya. Sesaat sebelum bicara, seperti biasa, ia sentuh gagang kacamatanya, lalu...

Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu'ala Rasulillah, amma ba'du. Sebelumnya saya mohon ma'af , saya tidak bisa memberi nasihat lazimnya para ulama, para mubhaligh dan para ustadz. Namun pada kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita...Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya, yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya, mempelai berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan Allah bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambilah mutiaranya dan buanglah lumpurnya.Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras, melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkan kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.

Tiga puluh tahun yang lalu ...Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke atas. Ayah saya seorang perwira tinggi, keturunan "Pasha" yang terhormat di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga aristokrat terkemuka di Ma'adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolan Sorbonne yang memegang jabatan penting dan sangat dihormati kalangan elit politik di negeri ini.Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam suasana aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan hidup sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma aristokrat. Keluarga besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan aristokrat atau kalangan high class yang sepadan!Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini.

Saya merasa terkukung dan terbelenggu dengan strata sosial yang didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan benar hidup yang saya cari. Saya lebih merasa hidup justru saat bergaul dengan teman-teman dari kalangan bawah yang menghadapi hidup dengan penuh rintangan dan perjuangan. Hal ini ternyata membuat gusar keluarga saya, mereka menganggap saya ceroboh dan tidak bisa menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orang yang selalu basah keringat dalam mencari pengganjal perut dianggap memalukan keluarga. Namun saya tidak peduli. Karena ayah memperoleh warisan yan sangat besar dari kakek, dan ibu mampu mengembangkannya dengan berlipat ganda, maka kami hidup mewah dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa berlibur ke luar negri, ke Paris, Roma, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika berlibur di dalam negeri ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalah hotel San Stefano atau hotel mewah di Montaza yang berdekatan dengan istana Raja Faruq.

Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah. Berkali-kali saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan mobil biasa saja, agar lebih enak bergaul dengan teman-teman dan para dosen. Tetapi beliau menolak mentah-mentah."Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja" tegas ayah.Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah habis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di hati, saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah. Ketika itu saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang penuh pesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan kemuliaan ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan kecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi, sama seperti saya.

Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya. Saya merasa telah menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cinta ini dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan. Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakultas. Maka datanglah saat untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus.Saya buka keinginan saya untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu, dan saudara-saudara saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang halus.Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan membanting gelas yang ada di dekatnya.

Bahkan beliau mengultimatum: Pernikahan ini tidak boleh terjadi selamanya!Beliau menegaskan bahwa selama beliau masih hidup rencana pernikahan dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak saya nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang tak terkira.Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu tukang cukur....tukang cukur, ya... sekali lagi tukang cukur! Saya katakan dengan bangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati. Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya dengan baik kepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyak dilakukan para bangsawan "Pasha". Lewat tangannya ia lahirkan tiga dokter, seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun dia sama sekali tidak mengecap bangku pendidikan.Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdiri sendiri, tidak ada yang membela.

Pada saat yang sama adik saya membawa pacarnya yang telah hamil 2 bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah ibu langsung merestui dan menyiapkan biaya pesta pernikahannya sebesar 500 ribu ponds. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak direstui, sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina, bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili pacarnya yang entah yang ke berapa di luar akad nikah malah direstui dan diberi fasilitas maha besar? Dengan enteng ayah menjawab. "Karena kamu memilih pasangan hidup dari strata yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan pacar adik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat keluarga besar Al Ganzouri."Hadirin semua, semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah saya, tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat sudah dekat, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yang jelas berzina justru difasilitasi.

Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan pasangan bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini kebenarannya. Itu saja.Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-mentah untuk mengawinkan putrinya dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad menikah dengan saya. Kami berdua bingung, jiwa kami tersiksa.

Keluarga saya menolak pernikahan ini terjadi karena alasan status sosial , sedangkan keluarga dia menolak karena alasan membela kehormatan.Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanya kenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?Setelah berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke kantor ma'dzun syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang sahabat karibku. Kami berikan identitas kami dan kami minta ma'dzun untuk melaksanakan akad nikah kami secara syari'ah mengikuti mahzab imam Hanafi.

Ketika Ma'dzun menuntun saya, "Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terima nikah kamu sesuai dengan sunatullah wa rasulih dan dengan mahar yang kita sepakati bersama serta dengan memakai mahzab Imam Abu Hanifah."Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata 3 sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah itu. Kami keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang sah di mata Allah SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir.Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata.

Begitu mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari rumah. Mobil dan segala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa. Kecuali tas kumal berisi beberapa potong pakaian dan uang sebanyak 4 pound saja! Itulah sisa uang yang saya miliki sehabis membayar ongkos akad nikah di kantor ma'dzun.Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih tragis lagi ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian dan uang sebanyak 2 pound, tak lebih! Total kami hanya pegang uang 6 pound atau 2 dolar!!!Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua bertemu di jalan layaknya gelandangan.

Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada puncak musim dingin. Kami menggigil, rasa cemas, takut, sedih dan sengsara campur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang , rasa berdaya dan hidup menjalari sukma kami."Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini. Maafkan Kanda!""Tidak... Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita telah berpikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak bisa menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir anak kecil. Suatu ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah. Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini.Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda, selama kanda tetap setia membawa dinda ke jalan yang lurus. Kita akan buktikan kepada mereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu ketika saat kita gapai kejayaan itu kita ulurkan tangan kita dan kita berikan senyum kita pada mereka dan mereka akan menangis haru.Air mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita kita saat ini," jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan.Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada diri saya. Lahirlah rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagi teringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi dokter. Dan sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaan dan uang sebanyak 40 pound.

Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di emperan toko berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa. Dalam kebekuan, otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin kami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar pun datang juga. Dengan sisa uang 6 pound itu kami masih bisa meminjam sebuah toko selama 24 jam.Saya berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman sebanyak 50 pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala kadarnya yang murah.Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera kami disadarkan kembali bahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengarunginya berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang dan perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah SWT.Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami berhasil menemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra Khaimah. Bagi kaum aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin dipandang sepantasnya adalah untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan mereka mungkin lebih bagus dari rumah kontrakan kami. Namun bagi kami adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu, jika seorang gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia bagai mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah sedang membutuhkan uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang jaminan dan uang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk 3 bulan.Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu kami pergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih dari sebuah kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kursi dan satu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua cangkir dari tanah, itu saja... tak lebih.Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak itu, kami merasa tetap bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah menjanjikan cinta.Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah untuk memberikan gambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah di surga. Jika percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh lebih nikmat dari semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa dibayangkan. Yang paling nikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah kepada penghuni surga , saat Allah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak semua penghuni surga berhak menikmati indahnya wajah Allah SWT. Untuk nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang berhak memperoleh segala cinta di surga.

Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus mendekatkan diri kepada-Nya. Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur'an, lalu memakai jilbab, dan tiada putus shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi'ah Adawiyah yang larut dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang ia adalah dokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang berkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad untuk hidup berdua tanpa bantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia juga seorang wanita yang pandai mengatur keuangan. Uang sewa sebanyak 25 poud yang tersisa setelah membayar sewa rumah cukup untuk makan dan transportasi selama sebulan.Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kamipun mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita hidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-sampai ada yang bilang tanpa disengaja,"Ah, kami kira para dokter itu pasti kaya semua, ternyata ada juga yang melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya."Akrabnya pergaulan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil layaknya saudara sendiri. Ada yang menawarkan kepada isteri agar menitipkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka karena kami memang dokter yang sibuk. Ada yang membelikan kebutuhan dokter. Ada yang membantu membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan- pertolongan mereka. Kehangatan tetangga itu seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan yang kami terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami. Yang lebih menyakitkan mereka tidak membiarkan kami hidup tenang.

Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedor dan didobrak oleh 4 bajingan kiriman ayah saya. Mereka merusak segala perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya, mereka patah-patahkan, begitu juga dengan kursi. Kasur tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan ancaman, "Kalian tak akan hidup tenang, karena berani menentang Tuan Pasha."Yang mereka maksudkan dengan Tuan "Pasha" adalah ayah saya yang kala itu pangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat bajingan itu pergi. Kami berdua berpelukan, menangis bareng berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami tata kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yang berserakan, kami masukan lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yang sobek-sobek tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Meja dan kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidur kecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi hidup ini.Benar, firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hidup tenang. Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah merancang skenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan tuduhan wanita tuna susila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen militer di negeri ini. Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di telapak kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal itu.Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak mengurungkan niat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman karibku berhasil memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak menjalankan skenario itu , sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras dan bisa berbuat lebih nekad.Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil meminta beliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai isteriku.

Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu, sampai ayah turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya bisa mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.Beberapa bulan setelah itu datanglah saat wajib militer. Selama satu tahun penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang saya takutkan, tidak ada pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan. Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai. Nyaris selama 1 tahun saya tidak bisa tidur karena memikirkan keselamatan isteri tercinta.Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan hamba-hamba- Nya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia mendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat rumah kami. Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah SWT.Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu kepada kekasih hati.

Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan. Malam itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang penyair Palestina yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia & lepas dari belenggu derita:Sambil menatap kaki langitKukatakan kepadanyaDi sana... di atas lautan pasir kita akan berbaringDan tidur nyenyak sampai subuh tibaBukan karna ketiadaan kata-kataTapi karena kupu-kupu kelelahanAkan tidur di atas bibir kitaBesok, oh cintaku... besokKita akan bangun pagi sekaliDengan para pelaut dan perahu layar merekaDan akan terbang bersama anginSeperti burung-burungYah... saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari nestapa dan derita. Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta. Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih keras untuk masuk program Magister bersama!"Gila... ide gila!!!" pikirku saat itu. Bagaimana tidak...ini adalah saat paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai dokter di negara Teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tidak berperasaan. Tetapi istri saya tetap bersikukuh untuk meraih gelar Magister dan menjawab logika yang saya tolak:"Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan kita dan mendapat tawaran dari Fakultas sehingga akan mendapatkan keringanan biaya, kita harus sabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan.

Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita rengguk sum-sum penderitaan ini. Kita sempurnakan prestasi akademis kita, dan kita wujudkan mimpi indah kita."Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad baja istriku, hatiku pun luluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan kekuatan jiwanya.Jadilah kami berdua masuk Program Magister. Dan mulailah kami memasuki hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan, sementara kebutuhan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek, buku, dll. Nyaris kami hidup laksana kaum Sufi, makan hanya dengan roti dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam hari kami lalui bersama dengan perut kosong, teman setia kami adalah air keran.Masih terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama dalam suatu malam sampai didera rasa lapar yang tak terperikan, kami obati dengan air. Yang terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa uang untuk beli buku kami ambil untuk pengganjal perut.Siang hari, jangan tanya... kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu, terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.Meski demikian melaratnya, kami merasa bahagia.

Kami tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya melihat istri saya mengeluh, menagis dan sedih ataupun marah karena suatu sebab. Kalaupun dia menangis, itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi dia malah lebih kasihan kepada saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah, tiba-tiba harus hidup sengsara layaknya gelandangan.Sebaliknya, sayapun merasa kasihan melihat keadaannya, dia yang asalnya hidup nyaman dengan keluarganya, harus hidup menderita di rumah kontrakan yang kumuh dan makan ala kadarnya.Timbal balik perasaan ini ternya menciptakan suasana mawaddah yang luar biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan rasa sayang, hormat, dan cinta yang mendalam padanya.

Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya adalah wajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan, dia akan mengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh cinta dengan senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan terlupakan semua. Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di dunia ini. "Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang..." bisiknya mesra sambil tersenyum.Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara. Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelar Magister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja! Namun, kami belum keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister pun kami masih hidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada istilah makan enak dalam hidup kami.Sampai akhirnya rahmat Allah datang juga.

Setelah usaha keras, kami berhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untuk pertama kalinya, setelah 5 tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah, merasakan kembali tidur di kasur empuk dan kembali mengenal masakan lezat.Dua tahun setelah itu, kami dapat membeli villa berlantai dua di Heliopolis, Kairo. Sebenarnya, saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah memiliki rumah yang layak. Tetapi istriku memang 'edan'. Ia kembali mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program Doktor Spesialis di London, juga dengan logika yang sulit saya tolak:"Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui, dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk mengambil gelar Doktor di London. Setelah bertahun-tahun hidup di lorong kumuh, tak ada salahnya kita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil merasakan hidup di negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan."Kucium kening istriku, dan bismillah... kami berangkat ke London. Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol gelar Doktor dari London. Saya spesialis syaraf dan istri saya spesialis jantung.Setelah memperoleh gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagai direktur rumah sakit, dan istri saya sebagai wakilnya! Kami juga mengajar di Universitas.Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya namai dia dengan nama istri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan.

Lima tahun setelah itu, kami pindah kembali ke Kairo setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari 9 tahun hidup menderita, melarat dan sengsara.Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah swt dan bertambahlan rasa cinta kami.Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup.

Jika hadirin sekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan mencurahkan cintanya dengan tulus, tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini, di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru yang menunduk di barisan depan kaum ibu, tepat di sebelah kiri artis berjilbab Huda Sulthan. Dialah istri saya tercinta yang mengajarkan bahwa penderitaan bisa mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz..."Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera video menyorot sosok perempuan separoh baya yang tampak anggun dengan jilbab biru. Perempuan itu tengah mengusap kucuran air matanya. Kamera juga merekam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua mempelai, dan segenap hadirin yang menghayati cerita ini dengan seksama.


Sumber : Milist daarut-tauhiid@yahoogroups.com, yang telah diforward ke milist ppi_ukm@yahoogroups.com


Komentar :
Cinta di jalan Allah selalu memerlukan perjuangan, tidak mudah untuk mewujudkannya kecuali bagi orang-orang yang istiqomah, beriman dan bertakwa. Kisah ini adalah kisah yang sangat menggugah bagi mereka yang akan menikah, yang sudah menikah atau yang sudah menikah tapi ingin menikah lagi. Spirit perjuangan dan kemampuan berkorban untuk meniti cinta yang diridhoi Allah, patut kita teladani. Ketika kita memutuskan untuk mencintai Allah secara kaffah, itu berarti apapun penghalangnya mesti disingkirkan demi meraih cinta yang sejati dan hakiki.

Bagi pembaca yang ingin berkomentar, silahkan ke rubrik comment.
Terima Kasih
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Ummu Hani
Kajang, Selangor, Darul Ehsan, Malaysia.
posted by Ummu Hani @ 8:18 AM   1 comments
Islam Menyayangi Wanita

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Ini adalah tulisan kedua tentang perempuan, dari milist yang sama dengan tulisan pertama. Selamat Menikmati.

Islam Menyayangi Wanita
by Ummu Iffah

Ketika tradisi penguburan hidup-hidup bayi wanita menjamur dalam tradisi Arab jahliyah, Islam datang dengan tegas melarangnya. Malahan wanita diangkat derajatnya dengan menempatkan wanita pada posisi yang terhormat “Surga ada ditelapak kaki ibu” (HR. Qoda’y dari Annas r.a) Islam juga memerintahkan kepada setiap anak untuk berbuat baik kepada orang tuanya terutama ibu (QS. Lukman:14). Nabi SAW bahkan menganjurkan untuk mendahulukan ibu sebelum bapak dalam hadisnya yang masyhur. Lebih jauh Islam telah mendeklarasikan persamaan antara laki-laki dan perempuan (QS. Al- Hadid:12 dan 18, At-Taubah:71- 72, An-Nisa:124, An-Nahl:97, Al- Mukmin:40, Taubah:71, An-Nisa:124, An-Nahl:97, Al- Mukmin:40, Al-Fath:5).


Adapun yang menjelaskan tentang imbalan bagi orang-orang yang memperlakukan anak, saudara atau orang perempuannya dengan baik tertuang dalam hadits-hadits berikut:“Rumah yang di dalamnya terdapat anak-anak perempuan, maka setiap hari Allah menurunkan dua belas rahmat, para malaikat tidak terputus-putus mengunjungi rumah itu, dan para malaikat di setiap hari dan malamnya mencatat untuk kedua orang tuanya pahala sama dengan pahala ibadah tujuh puluh tahun ” (HR. Abu Ya’la).


"Barangsiapa menanggung (biaya hidup) seorang yatim, baik keluarga ataupun bukan keluarga, maka dia kelak berdampingan denganku di surga. Dan barangsiapa membiayai tiga orang putri yang diamanatkan Allah kepadanya, maka dia berhak masuk surga: Dan dia mendapat pahala seperti pahalanya orang yang berjihad di jalan Allah, yang siang harinya digunakan untuk berpuasa dan malam harinya di gunakan untuk beribadah sunat (HR. Bazar dari Abu Hurairah)”.


Seorang muslim yang diamanati Allah tiga orang anak putri, kemudian dididik dan dibimbing secara layak hingga dewasa, atau meninggal sebelum baligh, maka dia akan selamat dari siksa api neraka”. Sabda Rasulullah SAW, lalu ada seorang wanita mengajukan pertanyaan: Ya Rosulullah, bagaimana halnya kalau hanya dia diamanati dua orang anak putri? Jawab beliau: Dua orang anak putri yang dididik secara baik, bisa menjadi penyelamat dari siksa api neraka”. (HR. Thabrani dari Abdurrahman bin Auf).


“Barangsiapa memiliki tiga orang putri atau tiga orang saudara putri, atau memiliki dua orang anak putri atau dua orang saudara putri, kemudian ia medidiknya dengan baik hingga memiliki ketaqwaan kepada Allah dan akhlak yang mulia, maka dia berhak masuk surga”. (HR. Tirmidzi).


“Barangsiapa di amanati Allah seorang putri, bila mati tidak ditangisi, dan bila hidup dididik secara baik, maka dia dapat jaminan surga” (HR. Abu Dawud, Hakim dari Ibnu Abbas).


“Barangsiapa menyenangkan (memanjakan) anak perempuan, maka ibarat menangis karena takut kepada Allah. Dan barangsiapa menangis karena takut kepada Allah, maka Allah mengharamkan jasadnya masuk kedalam neraka.” (HR. Abu Ya’la, Ahmad).

Wallahu a'lam bis-showab,
Frankfurt, 15 Oktober 2005


Komentar :

Anak perempuan ternyata menguntungkan bagi lelaki (bapak) dan perempuan (ibu). Islam menempatkan konteks adil dalam koridor yang benar antara lelaki dan perempuan. Artikel ini membahas makna mengasuh perempuan berdasarkan perspektif hadits. Tentunya tidak alasan lagi membeda-bedakan peran perempuan dan peran lelaki dalam rumah tangga baik dalam konteks sebagai orang tua maupun sebagai anak. Semoga artikel ini memberikan pencerahan buat sahabat pembaca.
Bagi yang ingin berkomentar, silahkan dalam rubrik comment.


Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Ummu Hani
Kajang, Selangor, Darul Ehsan, Malaysia.
posted by Ummu Hani @ 7:30 AM   0 comments
Friday, November 10, 2006
Secercah Cahaya Bagi Sesama
Setiap kata mesti memiliki makna sebab kata yang penuh makna lebih mampu melembutkan hati, menggerakkan jiwa dan mencerdaskan pikiran. Inilah yang membedakan kata-kata yang menggugah dan kata-kata yang tidak menggugah. Banyak buku, artikel, leaflet, selebaran, buletin, majalah, dan surat kabar yang mana kata-kata sebagai 'pelakon' utamanya tetapi belum tentu mampu menggerakkan jiwa seseorang untuk bertindak, boleh jadi salah satu penyebabnya kata-kata itu tidak memberikan arti, tidak berkesan, dan tidak bercita rasa. Kata sederhana mampu menggugah pembaca kalo pilihan katanya benar dan diletakkan pada konteks kalimat yang benar. Pilihan kata (diksi) juga mampu memperlihatkan karakter seseorang.

Dahulunya judul blog ini adalah setetes embun ditengah padang pasir. Kalimat yang diberikan oleh seorang bidadari sholehah yang nun jauh dimata. Saya tidak bermaksud mengubahnya tapi saya ingin menggantinya dengan kata-kata yang mampu menggerakkan jiwa menuju kebaikan. Ups, akhirnya saya memilih kalimat secercah cahaya bagi sesama, Secercah sama dengan sebahagian, beberapa bahagian, cahaya bermakna ilmu, hikmah, pengalaman, hal-hal yang baru yang membawa kepada pencerahan wawasan, pencerahan ilmu, dan pencerahan sudut pandang. Intinya semuanya hal-hal ini merujuk kepada kemanfaatan dan kebaikan. Berbagi bagi sesama, maknanya apa yang saya tuliskan siap untuk dibagi, didownload, dicopy paste, atau dijadikan rujukan dalam setiap diskusi ilmiah, pembicaraan ringan, tulisan dan juga dijadikan kritikan. Pengertian berbagi menunjukkan semua yang saya tuliskan diblog mesti diikhlaskan digunakan dalam kebaikan. Saya jadi teringat sebuah buletin dakwah di Malaysia, pada halaman dari redaksi, dituliskan "buletin ini terbitkan oleh Forum Komunikasi Muslimah Indonesia, disebarluaskan dalam forum-forum yang diselenggarakan Muslimah Indonesia. Mengutip, memperbanyak dan menyebarluaskannya untuk kebaikan sangat dianjurkan".


Menulis blog ternyata juga harus mempunyai misi dan visi. Misi untuk menulis kebaikan. Misi agar orang-orang bisa tercerahkan. Misi supaya manusia paham akan kekuasaan Allah dan eksistensi diri. Dan kesemuanya ini merupakan amanah seperti yang dijelaskan dalam QS. Al-Ahzab ayat 70 "Wahai orang-orang yang beriman! bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar". (12.33 AM, Kajang, Selangor, Darul Ehsan, Malaysia).
posted by Ummu Hani @ 8:22 AM   0 comments
Thursday, November 02, 2006
Sapaan Perdana
Pertama kali saya mengenal istilah blog, multiply, kira-kira tiga tahun yang lalu. Saya mulai membuka-buka beberapa blog dan multiply teman-teman. Ternyata isinya sangat mengasyikkan sebagai sarana berbagi ilmu, pengalaman, hal-hal baru yang menakjubkan. Dan tentunya menambah koleksi teman, mempererat persaudaraan dan ukhuwwah tanpa mengenal batasan-batasan jarak, ruang dan waktu.


Saya lebih senang menyebutnya 'online diary'. Semua orang bisa mengaksesnya dan pemilik blog setiap saat bisa menulis dan berbagi. Meski kadang-kadang ada juga blog yang sedikit 'vulgar' karena hal-hal yang sifatnya privacy turut dipublish. Tapi ada juga blog-blog yang mencerdaskan dengan menulis banyak hal yang memberikan ilmu dan hikmah tanpa harus membuka identitas pemilik blognya.


Keinginan membuat blog semakin hari semakin menguat, sebab sarana ini paling pas untuk mengolah ide, kemudian menuliskannya dalam sebuah tulisan yang penuh hikmah dan enak dibaca. Terakhir, tentunya mendiskusikan dengan yang lain. Jadi, ada tiga skill yang bisa kita peroleh dengan pembuatan blog (mengolah ide, keterampilan menulis dan keterampilan diskusi). Banyak orang yang punya ide, tetapi belum tentu mampu mengolahnya menjadi tulisan. Ramai orang yang gemar membaca dan pandai menulis, tetapi belum tentu mampu berdiskusi dengan cerdas dan baik. Tepatlah dikatakan sebenarnya blog bisa menjadi wadah latihan kemampuan aktifitas berfikir.


Alhamdulillah rabbil alamin
, berkat jasa baik yang penuh cinta dari seorang adik sholehah yang nun jauh di mata tapi dekat di hati, akhirnya blog ini hadir ditengah-tengah pembaca. Meski saya tidak terlalu aktif menulis minimal saya sudah punya sarana yang baik untuk mengasah keterampilan berfikir, mengolah ide, membaca, menulis dan berdiskusi. Semoga blog ini bermanfaat buat sesama. Allahummaamien. (12,51 AM, Kajang, Selangor, Darul Ehsan, Malaysia)
posted by Ummu Hani @ 6:06 AM   0 comments
about me
My Photo
Name:
Location: Kajang, Selangor, Malaysia

A servant of Allah, a Muslim Woman, Dakwah Activist, University tutor, Master students, love writing and cooking :)

Udah Lewat
Archives
sutbok
Friends
Links
Template by
Blogger Templates
© ~~ Secercah Cahaya Bagi Sesama ~~