Surat Nida dari Palestina
Jakarta - Agresi Libanon ke Israel terus menghiasi pemberitaan dalam negeri. Kecaman dari para tokoh dan masyarakat Indonesia terus berdatangan. Masyarakat Indonesia yang tinggal jauh dari Timur Tengah saja teriris menyaksikan insiden itu, lalu bagaimana mereka yang tinggal di arena konflik? Nida, mahasiswi PhD Jurusan International Politics, University of Wales Aberystwyth, Inggris, punya cerita tentang itu. Nida adalah warga Palestina yang tinggal di wilayah Israel. Dia berkorespondensi dengan sahabatnya asal Indonesia, Emma Nawawi Dirgahayu, yang juga rekan sekampusnya. Emma lalu menerjemahkan hasil korespondensinya itu untuk pembaca detikcom, untuk memberi sudut pandang lain mengenai kasus ini, Jumat (28/7/2006).
Inilah jeritan hati Nida:
Assalamu'alaikum Wr Wb.
Aku berharap kamu baik-baik saja dan musim panasmu sangat menyenangkan dibanding musim panasku. Aku berusaha untuk menyelamatkan diri, namun aku sangat kesal atas agresi Israel ini terhadap warga Libanon, terlebih saat aku melihat standar ganda yang digunakan oleh masyarakat internasional dan dukungan langsung AS untuk makin banyaknya korban tewas. Aku terjebak di tengah perang tolol ini. Kamu mungkin lebih mendengar dari media Barat tentang Haifa dan kota-kota orang Yahudi di Israel. Tapi kampungku, Kofor Yassif, jauh lebih dekat ke perbatasan Libanon.
Senin lalu, dan sebagai bagian dari kebijakan 'kebebasan pers' Israel, reporter Al-Jazeera ditangkap di kampungku saat meliput perkembangan terakhir. Namun aku meragukan kamu mendapat berita tersebut, atau melihat tayangan anak-anak Israel menulis pesan pada bom-bom yang akan ditargetkan ke Libanon, atau setidaknya tentang fakta bahwa tak satu pun kampung-kampung maupun kota-kota Palestina di Israel dilengkapi dengan bunker perlindungan. Kedua anak Palestina yang tewas oleh roket beberapa hari lalu juga terbunuh sebagai akibat kebijakan Israel yang meliputi pengabaian, rasisme, dan diskriminasi atas warga Palestina di Israel.
Nazareth adalah kota Palestina terbesar di Israel, namun tidak sebagaimana kota-kota orang Yahudi, di sini tidak disediakan bunker perlindungan atau pun sirene bahaya. Hingga kini lebih dari 300 tewas di Libanon, beribu-ribu terluka, dan hampir sejuta pengungsi. Bayangkan bahwa semua ini tak perlu terjadi jika Israel menepati janji dan membebaskan tawanan Libanon sebagaimana telah disetujui pada tahun 2000. Beberapa tawanan tersebut telah lebih dari 25 tahun mendekam dalam penjara-penjara Israel, dan tidak hanya mereka. Israel memenjara lebih dari 10.000 tawanan, di antara mereka ada 350 kanak-kanak Palestina. Beberapa tahanan bahkan berasal dari Yordania dan Mesir yang telah mempunyai perjanjian damai dengan Israel. Namun tak seorang pun nampak keberatan saat warga Arab dibunuh, diculik, atau dipenjara, dan komunitas internasional menilai bahwa kehidupan dua tentara Israel lebih berharga daripada ratusan warga sipil Libanon, termasuk anak-anak, yang tewas hingga saat ini.
Aku tak tahu apalagi yang mesti kusampaikan, telah lebih dari 10 hari sekarang, dan tak seorang pun bertindak untuk mengakhiri semua ini. Malah sebaliknya AS mengatakan Israel harus mengabaikan permintaan gencatan senjata, dan Condoleezza Rice melukiskan bahwa permohonan Libanon sebagai bagian dari 'kelahiran nyeri baru di Timur Tengah'. Hal ini membuatku tak dapat berkata-kata.... Aku hanya berandai-andai, jika kita sedang membicarakan tentang hak-hak binatang, berapa banyak yang akan datang untuk menyelamatkan mereka. Kasih dan salam, Nida(nrl)
|